Nasional
Beranda » Blog » Mahasiswa Universitas Ciputra Telusuri Tren Fashion Masa Depan Lewat Dua Lensa: Neo-Heritage Hybrid dan Post-Urban Survivalism

Mahasiswa Universitas Ciputra Telusuri Tren Fashion Masa Depan Lewat Dua Lensa: Neo-Heritage Hybrid dan Post-Urban Survivalism

Ketika Masa Lalu Bertemu Masa Kini, Oleh: Shella Katerina, Juniliany Navista, Yoanita Tahalele, Janefier Giovanni, dan Ingrid Vania

Oleh: Shella Katerina, Juniliany Navista, Yoanita Tahalele, Janefier Giovanni, dan Ingrid Vania

Surabaya — Mahasiswa Program Studi Fashion Business Universitas Ciputra Surabaya kembali menorehkan prestasi intelektual dalam menelaah arah perkembangan industri mode global. Melalui mata kuliah Fashion Trend Analysis, mereka tidak hanya belajar membaca tren, tetapi juga menerjemahkannya ke dalam karya visual yang reflektif dan penuh makna. Proyek akhir mata kuliah ini menghadirkan eksplorasi dua arus tren masa depan yang kontras namun saling melengkapi: Neo-Heritage Hybrid dan Post-Urban Survivalism.

Jasa Press Release

Dibagi menjadi dua kelompok besar, para mahasiswa menyelami beragam dinamika budaya, sosial, dan isu global untuk menciptakan narasi mode yang menyentuh sisi emosional sekaligus rasional. Setiap kelompok merespons fenomena kontemporer dengan pendekatan visual, styling, dan konsep yang mencerminkan kecakapan analisis tren secara kritis dan kreatif.

Kelompok pertama tampil memukau dengan interpretasi tren Neo-Heritage Hybrid, yang terekam dalam instalasi pameran bertema denim dan panel mading bertuliskan “Neo Heritage”. Koleksi mereka menyuguhkan harmoni antara elemen tradisional dan sentuhan modern, memadukan keanggunan romantis gaya gothic dengan nuansa lokal yang kuat. Busana bernuansa gelap tampil anggun dengan bahan lace, satin, hingga kain etnik seperti batik dan songket. Aksen korsase, obi, hingga sulaman tangan menjadi penguat estetika yang menyeimbangkan antara warisan budaya dan gaya kontemporer.

Tren mikro yang mereka angkat, seperti Y2K x Ethnic Revival, Gothic Cultural Fusions, dan Retro Styling with Indigenous Fabric, menegaskan bahwa identitas lokal tidak harus terjebak dalam nostalgia, tetapi bisa berkembang menjadi sesuatu yang relevan dan global.

Komitmen Pegadaian Kanwil IX Jakarta dalam Jaminan Sosial Ketenagakerjaan Berbuah Apresiasi

Berbeda arah namun tak kalah kuat, kelompok kedua mengusung tren Post-Urban Survivalism, sebuah respons terhadap ketidakpastian dunia pasca-pandemi, krisis iklim, dan realitas urban yang semakin kompleks. Lewat instalasi bertema industri dan rak merchandise bernuansa futuristik, mahasiswa menampilkan koleksi fungsional yang memadukan gaya utilitarian dan streetwear. Kaos grafis, celana longgar, jaket multifungsi, hingga aksesori seperti sneakers dan topi tampil dengan palet warna monokrom dan earth tones yang kuat.

Gaya Bertahan di Tengah Dunia yang Berubah, Oleh: Chrystalyn Yovela, Zakiatun Nafizah, Caroline Devina, Natashia Angelina, dan Michelin Grace

Tren mikro seperti Gorpcore Redux, Symbolic Street Graphics, dan Glocal Aesthetics mencerminkan semangat adaptif generasi muda dalam menjadikan fashion sebagai medium survival, pernyataan identitas, dan bahkan kritik sosial terhadap realitas modern.

Tak sekadar tugas kuliah, proyek ini memperlihatkan bahwa mahasiswa mampu menjembatani teori dan praktik, antara referensi profesional seperti trend forecasting agencies dengan pemahaman kontekstual atas gaya hidup dan psikologi konsumen. Mereka tidak hanya menyusun visual moodboard dan koleksi busana, tetapi juga menyajikan analisis yang mengaitkan tren global dengan isu local, mulai dari krisis iklim, identitas budaya, hingga transformasi digital.

Dosen pengampu mata kuliah, Yoanita Tahalele, B.A., M.A., menegaskan pentingnya pembelajaran semacam ini sebagai jembatan menuju dunia profesional.

“Tren fashion bukanlah sesuatu yang muncul tiba-tiba. Ia merupakan hasil dari akumulasi pengaruh budaya, sosial, politik, teknologi, bahkan krisis global. Lewat mata kuliah ini, mahasiswa belajar menelaah tren secara mendalam, bukan hanya dari aspek estetika, tapi juga dari sudut pandang sosiologis dan psikologis,” jelasnya.

Menguatkan Pengentasan Stunting, Mahasiswa KKN MIT 20 Posko 50 UIN WaliSongo Semarang Turut Berkontribusi Dalam Kegiatan Integrasi Layanan Primer

Sementara itu, Caroline Devina, S.Ds., asisten dosen yang terlibat langsung dalam kelas ini, menambahkan:

“Fashion Trend Analysis membekali mahasiswa dengan pemikiran kritis yang sangat berguna, tak hanya di kelas, tetapi juga di karier masa depan mereka. Proyek ini adalah latihan intelektual sekaligus kreatif yang memperkaya pemahaman mereka terhadap industri mode yang terus bergerak.”

Melalui pendekatan yang multidimensi visual, teoritis, dan kontekstual, proyek ini menjadi bukti bahwa generasi muda Indonesia siap mewarnai masa depan mode dengan pijakan budaya yang kokoh dan pandangan global yang progresif. Dari tekstil tradisional hingga ilustrasi protes, dari estetika lokal hingga nuansa global, mahasiswa Universitas Ciputra membuktikan bahwa fashion lebih dari sekadar gaya, ia adalah bahasa zaman. Di tengah dunia yang terus berubah, mereka tidak hanya merespons zaman, tapi juga berkontribusi membentuk dengan warisan budaya sebagai fondasi dan kreativitas global sebagai sayap. Ini bukan sekadar tugas kuliah, melainkan langkah awal menuju panggung dunia. Maka bagi para pelajar, kreator, dan pemimpi muda lainnya jangan ragu untuk terus belajar, bereksperimen, dan menyuarakan identitasmu. Karena masa depan adalah milik mereka yang berani menciptakannya hari ini.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Bagikan