Penulis : Chyntia Dewi Ayuanjani, Fakultas Psikologi, Universitas Tarumanagara.
Indonesia Vox, Kolom – Generasi Z tidak hanya merupakan data demografis; mereka adalah representasi lahirnya era yang berbeda. Gen Z dianggap dapat mengganggu stabilitas dan keseimbangan organisasi. Mereka dianggap terlalu sensitif untuk penilaian, mudah bosan, suka menuntut, dan sulit diarahkan. Anggapan tersebut sebenarnya tidak menunjukkan bahwa Gen Z kurang kompeten; sebaliknya, itu menunjukkan bahwa organisasi menghadapi kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan perubahan. Dunia kerja saat ini sangat berubah, dan Generasi Z hanyalah pantulan dari perubahan tersebut. Ini menunjukkan bahwa banyak perusahaan hanya bergerak tanpa kemajuan yang signifikan di tengah perubahan tersebut.
Kita tidak dapat memaksa generasi digital untuk beradaptasi dengan struktur industri yang sudah tua. Generasi Z berkembang di tengah arus informasi yang cepat, serba instan, dan penuh dengan peluang. Mereka yang termasuk dalam generasi ini biasa menggunakan pola pikir kritis, mengharapkan kesempatan untuk berpartisipasi, dan bekerja berdasarkan prinsip-prinsip pribadi. Dengan kata lain, sistem kerja telah lama mengabaikan aspek kemanusiaan, yaitu kebutuhan mereka akan fleksibilitas, jenjang karier yang jelas, dan lingkungan psikososial yang mendukung. Ini bukan tentang kurangnya komitmen; itu tentang keberanian untuk menolak bertahan dalam lingkungan yang mengganggu kreativitasnya dan kesehatannya. Melalui kerangka Big Five Personality Traits, kami dapat memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang karakteristik kepribadian Gen Z (Costa & McCrae, 1992).
Gen Z unggul dalam dimensi keterbukaan terhadap pengalaman karena mereka terbuka terhadap gagasan baru, cepat beradaptasi, dan melihat perubahan sebagai peluang daripada ancaman. Keuntungan ini mendorong mereka untuk bereksperimen, menciptakan inovasi, dan mempertanyakan sistem kerja yang dianggap kuno. Sebaliknya, sebagian dari mereka masih dalam tahap perkembangan dalam hal kesadaran, yang mencakup ketekunan, pengaturan diri, dan kedisiplinan. Mereka membutuhkan dukungan sistem yang memberikan bimbingan, struktur yang jelas, dan sistem kerja yang selaras dengan ritme psikologis generasi digital selain menuntut kinerja.
Gen Z cenderung membangun hubungan yang egaliter serta komunikasi dua arah di bidang extraversion dan agreeableness. Mereka menyukai keterbukaan, bekerja sama, dan memiliki kesempatan untuk bersuara dalam proses pengambilan keputusan. Namun, sebagian orang dengan neuroticism menghadapi kesulitan dalam mengelola stres, tekanan kerja, dan tuntutan performa terus-menerus. Oleh karena itu, sistem kerja yang responsif secara emosional, membantu, dan manusiawi adalah kebutuhan, bukan hanya keinginan, untuk memungkinkan potensi mereka berkembang secara optimal.
Oleh karena itu, kita dapat melihat Generasi Z memiliki kesiapan kerja yang matang dalam hal literasi digital dan teknis. Namun, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, seperti kemandirian emosional dan pengalaman nyata yang diperlukan oleh dunia profesional kontemporer. Meskipun generasi ini tumbuh menjadi generasi yang lincah, adaptif, dan penuh kreativitas, mereka masih membutuhkan bimbingan intensif, feedback cepat, dan preferensi untuk fleksibilitas sebagai pondasi soft skill, seperti ketahanan, komunikasi, dan tanggung jawab kerja.
Tingkat turnover yang meningkat bukanlah indikasi bahwa Gen Z adalah orang yang lemah dan tidak setia. Sebaliknya, ini menunjukkan bahwa perusahaan perlu melakukan transformasi organisasi. Jika perusahaan mempertahankan hierarki ketat dan komunikasi tertutup, ini dapat menghambat inovasi. Sebenarnya, masalahnya bukan pada kemampuan generasi muda untuk menyesuaikan diri; sebaliknya, masalahnya ada pada struktur organisasi yang tidak mengikuti perkembangan. Ketidaknyamanan meningkat dan risiko kehilangan sumber daya manusia berkualitas meningkat karena menuntut mereka menyesuaikan diri tanpa memberikan kesempatan untuk berbicara.
Saatnya bagi organisasi untuk mempertimbangkan diri mereka sendiri. Apakah mereka mempertahankan praktik dan struktur yang ada hanya karena sudah terbiasa, atau apakah mereka ingin menuju sistem kerja yang lebih fleksibel, terbuka, dan relevan dengan generasi yang akan datang?
Perusahaan harus melakukan sejumlah tindakan untuk memastikan kualitas sumber daya manusia mereka. Bukan sebagai fasilitas pelengkap, pelatihan, penguatan soft skill, dan mekanisme supervisi yang mendukung perkembangan psikologis harus menjadi prioritas strategis. Langkah ini tidak dilakukan untuk memanjakan atau memuaskan Gen Z. Sebaliknya, itu dilakukan untuk memastikan organisasi tetap hidup dalam lingkungan kompetisi yang dinamis. Mereka membawa energi baru, ide berani, dan dorongan untuk mengubah dunia. Perusahaan akan kehilangan peluang di masa depan jika tidak memberikan ruang tersebut.
Maka, narasi kita harus bergeser, tidak lagi mempersoalkan Gen Z; sebaliknya, kita harus mendengarkan mereka untuk memahami mereka. Mereka adalah kesempatan yang tidak boleh disia-siakan; mereka bukan duri dalam manajemen SDM. Yang dibutuhkan hanyalah jembatan, yaitu komunikasi yang setara, proses belajar bersama, dan kesiapan untuk menata ulang diri. Mereka yang mampu mengikuti perubahan akan menjadi lebih kuat, sementara mereka yang menolak akan menjadi organisasi yang sudah tidak berguna lagi.
Gen Z hanya meminta dunia kerja tetap relevan; mereka tidak pernah memintanya menjadi mudah dan instan. Itu bisa menjadi tuntutan yang benar-benar akan menyelamatkan kita semua.




Komentar