Jakarta, Mei 2025 – Film “Jumbo” yang tengah menjadi perbincangan hangat di berbagai platform digital menunjukkan betapa kuatnya peran media sosial dalam membentuk opini publik dan menarik atensi massal. Agung Putra Mulyana, pengamat interaksi media digital Indonesia, menilai fenomena viral ini bukan hanya soal konten, tetapi juga soal bagaimana masyarakat terhubung secara emosional dan bagaimana algoritma media sosial bekerja dalam menyebarkannya.
“Film Jumbo berhasil menembus kesadaran publik karena hadir di momentum yang tepat dengan strategi distribusi dan interaksi digital yang kuat. Bukan hanya karena ceritanya, tapi juga bagaimana publik ikut menjadi bagian dari narasi melalui meme, komentar, dan reaksi yang menyebar luas,” ujar Agung.
Menurutnya, viralitas Jumbo memperlihatkan pola baru konsumsi budaya populer, di mana audiens bukan lagi sekadar penonton pasif, melainkan aktor aktif dalam menyebarluaskan pesan. Platform seperti TikTok, X (Twitter), dan Instagram menjadi arena diskusi yang memicu rasa penasaran khalayak yang belum menonton, sehingga menciptakan buzz organik.
Lebih lanjut, Agung menekankan bahwa film ini juga menyimpan pesan penting bagi dunia psikologi anak. Mengutip data dari American Psychological Association (APA), ia menjelaskan bahwa kemampuan anak dalam mengenali dan mengatur emosi sangat dipengaruhi oleh paparan lingkungan, termasuk media visual seperti film.
“Menurut APA, anak-anak mengembangkan regulasi emosi mereka melalui pengalaman sosial dan bimbingan lingkungan, bukan bawaan sejak lahir. Maka, ketika anak menonton film yang memunculkan berbagai ekspresi emosional, mereka belajar mengenali rasa takut, senang, marah, atau sedih secara lebih konkret,” jelas Agung.
Ia juga mengutip pernyataan Dr. Lisa Feldman Barrett, seorang ahli psikologi emosi dari Northeastern University, yang menyatakan bahwa emosi bukanlah sesuatu yang otomatis, melainkan dipelajari dan dibentuk dari pengalaman. “Dr. Lisa menjelaskan bahwa ketika anak melihat narasi emosional, otak mereka sedang membangun konsep tentang emosi itu sendiri. Maka, film yang memancing rasa penasaran, simpati, dan refleksi seperti Jumbo, sebenarnya sedang melatih kecerdasan emosional anak-anak,” tambahnya.
Barrett menulis dalam bukunya How Emotions Are Made bahwa pengalaman sehari-hari, termasuk dari media, membantu anak membangun “perpustakaan emosi” mereka. Artinya, narasi visual bukan sekadar hiburan, melainkan juga sumber pembelajaran emosional yang krusial.
Sebagai pengamat interaksi media digital Indonesia, Agung Putra Mulyana mendorong sineas lokal untuk memahami bahwa kekuatan narasi saat ini tidak cukup hanya pada layar, tetapi juga bagaimana cerita itu hidup, diperdebatkan, dan memberi nilai tambah bagi publik, terutama generasi muda, di ruang digital.
Komentar